Jumat, 11 Oktober 2013

ksatria yang terfitnah

Ksatria Yang Terfitnah
·         Mukaddimah
Dialah Dawud ‘alaihis salam (sekitar 1041-971 SM), Raja Israel ke-dua setelah Thalout, ayah mertua beliau dengan menikahi putrinya yang bernama Mikhal, setelah beliau berhasil menumbangkan  perwira raksasa pilih tanding –Jalut- (Galiat) di medan pertempuran. Nabiyyullah Dawud‘alaihis salam diangkat menjadi Rasul pada tahun 1010 SM, Bersamaan dengan diturunkannya kitab Zabur kepadanya .
Tulisan ini, berawal dari obrolan sersan (serius tapi santai) di kediaman sahabat saya, sang Rasul tanpa Mu’jizat kawasan Gunung Muria; K.Husnul Mubarak, di sela-sela ia menenangkan  temannya yang sedang dilanda galau stadium tiga. Urainya, sekian banyak bacaan yang merisaukan fikirannya tentang kama’shuman para nabi dan rasul (terjaga dari dosa), namun pada kenyataannya dijumpai juga sejumlah ayat-ayat Al Qur’an yang membincang soal dosa dan kesalahan sebagian para Rasul itu sendiri.Terkhusus pada QS. Shad: 21-25 yang tengah membicarakan kasus Nabi Dawud jatuh hati kepada seorang wanita cantik mempesona bernama Batsyeba, yang ternyata adalah istri tunggal salah satu panglima perangnya sendiri, bernama Uria. Kemudian Dawud memerintahkan Pimpinan tertinggi pasukannya untuk memindahtugaskan Uria ke medan pertempuran yang lebih sulit, hingga akhirnya Uria tewas setelah bertempur yang ketiga kalinya.
Menurut teman saya tersebut, jika masalah yang problematik ini tidak terselesaikan penceritaannya, dan kita biarkan menggelinding begitu saja, tersampaikan di pengajian-pengajian yang sarat dengan “dongeng” seperti di kampung-kampung. Maka akan selamanya diabadikan dari generasi ke generasi, menjadi pengganjal keyakinan umat islam bahwa para Nabi dan Rasul adalah hamba-hamba Allah yang terjaga dari lumuran dosa.
Kemudian saya menyanggupi untuk menuliskan seuntai pemahaman saya tentang kema’shuman para Nabi dan Rasul dengan spesifikasi ayat Al Qur’an yang disampaikan teman akrab saya tersebut, meski dengan segala kedangkalan sarana fikir dan minimnya bacaan yang saya jadikan rujukan, mudah-mudahan bisa kita tela’ah bersama demi mendapatkan pemahaman kolektif yang solutif dan bermanfaat bagi kita semua.
·         Kema’shuman para Nabi dan Rasul
Kata ma’shum diambil dari ‘ashama-ya’shimu-‘ishmatan yang berarti menjaga.Dalam bentuk maf’ulnya (pasif) bemakna terjaga/dijaga.Maksud bahwa Rasul dan Nabi itu Ma’shum adalah; terjaga dari kesalahan yang menurut versi manusia biasa, itu adalah dosa yang menjerumuskan mereka kepada ancaman murka Allah.Kendati demikian, Nabi dan Rasul juga manusia yang tidak akan luput dari salah dan lupa, namun mereka terhindar dari kesalahan fatal yang mengakibatkan ancaman siksa neraka, karena mereka memiliki tingkatan dosa khusus yang menurut versi manusia biasa adalah hal yang wajar-wajar saja. pun begitu menurut para nabi dan rasul, itu merupakan dosa yang menuntut mereka harus segera bertaubat dan tidak boleh terulang kembali. Ini yang sering kita kenal dalam ungkapan “hasanaatul abraar, sayyiaatul muqarrabin” kebaikan level  orang-orang baik adalah keburukan level orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
Sebuah contoh; ketika usai Perang Badar, pasukan dari pihak kafir Quraisy banyak yang menjadi tawanan tentara islam lantaran mereka gagal menggempur pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Berhubung wahyu tidak segera turun mengenai tawanan perang, Rasulullah menghimpun para sahabat untuk diajak berpertimbangan, Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu berpendapat; hendaknya mereka semua dibunuh. Sementara Abu Bakar as Shiddiq yang berperasaan lemah lembut mengusulkan agar mereka dibiarkan hidup untuk bisa ditebus demi menambah kekuatan dan kesejahteraan umat islam, serta harapan agar mereka berkesempatan mau menerima islam. Kemudian Rasulullah lebih memilih pendapat Abu Bakar dengan pertimbangan bahwa itu tidak menyalahi aturan Allah, karena tidak ada instruksi langsung dari langit, -antara membunuh tawanan perang ataukah memberlakukan tebusan-.Juga bisa dikatakan, ketika dihadapkan dua pilihan, Rasulullah selalu memilih yang termudah sepanjang tidak menimbulkan dosa dan tidak menyebabkan terputusnya silatur rahim.Begitu Rasulullah menerima tebusan, turunlah wahyu yang mengkritik tindakan Rasulullah yang telah memilih kebijakan baik, tapi mengabaikan kebijakan yang lebih baik.Karena kebijakan yang lebih baik semestinya adalah membunuh tawanan perang badar yang terdiri dari para pembesar kaum musyrikin Makkah.
Kemudian Rasulullah menangis meratapi kesalahan beliau di dekat sebuah bangunan rumah, ketika Abu bakar melihat Rasulullah yang sedang menangis tersedu-sedu, Abu Bakar pun menghampiri beliau yang sedang tidak mampu berucap sepatah kata.tanpa menyoal, Abu Bakar pun duduk di sisi Rasulullah sambil turut bercucuran air mata. Tidak tahan mendengar isak tangis mereka berdua, Umar bin Khattab menghampiri dan memberanikan diri menyapa Rasulullah saw; “duhai Rasulallah, jika ada masalah yang saya patut turut berduka, izinkan saya menangis bersamamu, jika anda tidak berkenan, izinkan saya menghiburmu”. Rasulullah menjawab; “aku diperlihatkan sebuah siksaan umatku yang lebih dekat daripada ini”, -sambil berisyarat ke arah tembok yang ada di depannya-.Umar menyahut; “dosa apakah gerangan yang telah dilakukan Rasulullah?”, Rasulullah menjawab: “dia telah memilih kebijakan yang utama, bukan yang paling utama -mengenai tawanan perang badar-, dan ini bagi para Nabi sudah dianggap sebuah kesalahan fatal yang mengakibatkan dosa”.Sementara bagi umat manusia biasa ketika berijtihad, jika benar mendapatkan dua pahala, dan jika salah, maka mendapatkan satu pahala.
Dari contoh di atas, bisa kita jadikan sebuah titik terang bahwa kema’shuman para Nabi dan Rasul bukanlah berarti terjaga dari kesalahan secara mutlak, melainkan terjaga dari sebuah dosa dalam arti melanggar syari’at yang sudah diatur dalam hidup beragama pada zamannya.jika kita tela’ah, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang membincang soal sifat manusiawi para Nabi dan Rasul dengan cara menegur, mengkritik, mengingatkan dan menasehati mereka agar bersikap lebih bijaksana sebagai hamba-hamba pilihan Allah swt, tanpa mengurangi kehormatan mereka di sisi Allah sebagai Nabi dan Rasul.
Bisa kita baca kisah Nabi Adam di banyak Surah dalam al Qur’an, misal: QS. Al Baqarah: , QS. Al A’raf , QS. Thaha dan lain sebagainya. Kisah Nabi Yusuf, QS. Yusuf. Kisah Nabi Dawud, QS. Shad. Kisah Nabi Sulaiman, QS. Shad.Dan lain-lain.
·         Nabi Dawud as bukan pendosa
Pada kesempatan ini, saya akan berkonsentrasi pada pengkisahan Nabi Dawud ‘alaihis salam, sebagaimana permintaan sahabat saya, dengan menela’ah QS. Shad: 21-25. Namun yang perlu kita ketahui pertama di sini, untuk menganalisa ayat al Qur’an yang mengkisahkan sebuah kejadian, perlu kita teliti ayat-ayat tersebut secara utuh, jika kita baca dan fahami secara penggalan-penggalan saja, seringkali hanya akan menimbulkan penafsiran-penafsiran yang keliru terhadap firman Allah tersebut.
 Kita ambil saja sebuah contoh pengkisahan Nabi Dawud as dalam penceritaan umat terdahulu, konon Nabi Dawud ‘alaihis salam membagi siklus aktivitasnya dalam tiga hari.Satu hari untuk beribadah, satu hari yang lain untuk umat manusia, dan satu hari lagi untuk istri-istrinya yang berjumlah 99. Setiap kali Dawud ‘alaihis salam membaca Al Kitab, beliau mendapati keutamaan Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub ‘alaihimus salam. Lalu beliau berkata; “Ya Allah, segala keutamaan telah dihabiskan oleh moyang hamba, maka berikanlah hamba keutamaan sebagaimana Engkau berikan kepada mereka”.Kemudian Allah mewahyukan kepadanya; “bahwasanya moyangmu telah mendapatkan ujian, Ibrahim diuji dengan harus menyembelih anaknya, Isma’il diuji dengan ancaman kematian di usia dini, sedangkan Ya’qub diuji dengan kesedihan luar biasa lantaran kehilangan anak kesayangannya, yakni Yusuf sampai mengalami kebutaan kedua matanya”.Nabi Dawud pun berkata; “kalau begitu, ujilah hamba seperti mereka, berilah hamba keutamaan seperti mereka”.Lalu Allah mewahyukan; “bahwa engkau akan diuji, maka bersiap-siaplah”.
Selepas kejadian itu, datang seekor burung merpati yang berwarna mengkilat seperti emas menghinggapi kaki beliau saat sedang mendirikan shalat. ketika hendak diraih, merpati emas itu terbang menuju arah atap istana, Nabi Dawud pun membuntutinya sampai ke dekat pemandian istana, tiba-tiba beliau melihat seorang wanita yang sangat cantik sedang mandi di loteng rumahnya, wanita itu pun melihat Nabi Dawud , lalu segera ia julurkan rambutnya ke seluruh tubuhnya, hal itu membuat Dawud semakin terpesona dibuatnya. Kemudian Nabi Dawud menanyakan tentang sosok wanita tersebut, ternyata ia adalah istri salah satu perwira yang sedang ikut di medan perang (Uria).
Sesegera mungkin Nabi Dawud mengutus Panglima tertinggi untuk menempatkan Uria di barisan pasukan yang berada di medan yang paling berbahaya, hingga akhirnya terbunuh di medan ke tiga, setelah berhasil memenangkan dua medan tersulit lainnya. Kemudian setelah Nabi Dawud menikahi istri Uria (Batsyeba), pada jadwal hari ibadah, Allah mengutus dua malaikat mendatangi beliau dengan berwujud manusia.Saat meminta izin untuk menemui beliau, mereka dihalangi para penjaga sebab hari itu bukan jadwal hari Nabi Dawud melayani umat manusia, kemudian mereka berdua nekad melompat pagar dan segera menemui Nabi Dawud yang sedang mendirikan shalat. Keduanya lalu duduk di hadapannya sampai membuat Nabi Dawud terkejut.Lalu mereka berkata; “kamu tidak perlu takut, kami hanya dua orang yang bersengketa.Salah satu dari kami mendhalimi lainnya, maka berikanlah keputusan bagi kami secara adil”.Nabi Dawud berkata; “kalau begitu, ceritakanlah urusan kalian berdua”.Salah satunya berkata; “saudaraku ini memiliki 99 kambing, sedangkan saya hanya memiliki satu ekor kambing, namun ia hendak merebut kambingku agar kambingnya jadi genap seratus”. Nabi Dawud bertanya kepada perebut kambing; “apakah saudaramu itu rela menyerahkan kambingnya?”ia menjawab; “tidak, ia tidak merelakannya”. Maka Nabi Dawud berkeputusan; “kalau begitu, kami tidak akan membiarkanmu melakukannya, jika engkau merebutnya, maka kami akan menghukummu”.
Tiba-tiba salah satu dari keduanya berkata; “wahai Dawud, engkau lebih berhak untuk dihukum, engkau mempunyai 99 istri, sedangkan Uria hanya beristri satu, engkau kirim dia berperang di medan yang sulit agar ia terbunuh lalu kamu bisa leluasa menikahi istrinya”.
Mendengar ucapan tersebut, seketika Nabi Dawud sadar bahwa beliau telah berbuat salah, segeralah beliau tersungkur sujud dan menangis selama empat puluh hari tidak pernah bangkit kecuali untuk keperluan mendesak, sampai tanah yang terkena air mata Nabi Dawud tumbuh rumput. Akhirnya Allah mewahyukan kepada beliau; “wahai Dawud, berdirilah, aku telah mengampuni dosamu”. Lalu Nabi Dawud berkata; “Ya Allah, saya mengetahui bahwa Engkau telah mengampuni hamba, namun jika nanti pada hari kiamat, Uria datang menenteng kepalanya yang berlumuran darah, lalu dia berkata; “Ya Allah, tanyalah Dawud, mengapa dia membunuhku?” maka Allah menjawab; “jika demikian, maka aku akan memanggil Uria, dan akan Aku pinta keikhlasannyauntukmu, yang dengannya akan Aku balas dengan surga, niscaya dia akan merelakannya untukmu”. Dawud berkata; “sekarang hamba benar-benar tahu bahwa Engkau telah mengampuni hamba[1].
-          Keabsahan Kisah
Hal senada juga bisa kita dapati dalam versi Islam, bahkan mungkin dikatakan populer di kalangan ahli tafsir dan hadits.Seperti dikutip oleh At Tirmidzi dan Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan Ibnu Abi Hatim yang disebutkan oleh Al Qurthubi dan Ath Thabari dalam tafsir mereka, begitu juga As Suyuthi dalam Ad Durr al Mantsur. Semuanya dari jalur riwayat dari Yazid Ar Ruqasyi dari Anas bin Malik secara marfu’.
Dengan demikian, perlu kiranya kita telisik secara kritis keabsahan riwayat tersebut. Karena jika sesuatu yang bersumber dari literatur umat islam, pasti mengandung kebenaran dan kemaslahatan. Namun jika ini menyangkut harga diri seorang Nabi yang tertuduh sebagai pendosa dan bertindak asusila terhadap umat manusia, pasti ada yang tidak beres dalam keabsahan penceritaannya. Kecuali jika hal tersebut bersumber tunggal dari umat sebelum islam, maka cukup kita tanamkan prinsip “la nushaddiquhum wa la nukadzdzibuhum” –kita tidak perlu membenarkan secara mutlak, juga tidak  menganggap kebohongan penceritaan mereka-. bagi umat islam, sudah cukup mengambil mana yang jernih, dan meninggalkan mana yang keruh, -khudz ma shafa wa da’ ma kadar-.
Jika kita amati, periwayatan kisah tersebut ternyata terbukti kebatilannya. Dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik dari sisi sanad (jalur sumber cerita) maupun dari sisi matan (redaksi penceritaannya).
a.      Dari sisi Sanad
Semua jalur kisah ini bersumber dari Yazid bin Aban ar Ruqasyi, sedangkan dia terkenal sebagai orang yang sangat lemah periwayatannya, bahkan ditinggalkan haditsnya.
Dalam kitab At Tahdzib, Ibnu Hajar mengutip perkataan An Nasa’i, Hakim dan Ahmad, bahwa Yazid al Ruqasyi tergolong periwayat hadits matruk (ditinggalkan haditsnya). Sementara sudah jamak diketahui bagi pegiat ilmu hadits, jika Imam Nasa’i telah memvonis –matruk- terhadap seseorang, maka berarti para Ulama sepakat untuk meninggalkan haditsnya.Begitupun Imam Ahmad juga mengatakan; “Yazid orang haditsnya munkar”.Bahkan karena kerasnya pengingkaran sebagian ulama terhadapnya, sampai-sampai Imam Syu’bah berkata; “seandainya saya berzina, itu lebih baik dari pada saya meriwayatkan hadits dari Yazid Ar Ruqasyi”[2].
b.      Dari sisi Matan
Ditinjau dari sisi matan, pengkisahan Nabi Dawud ‘alaihis salam pada kasus ini juga banyak sekali titik-titik problematisnya. Kita bidik di antaranya:
1.      Diceritakan bahwa Nabi Dawud meninggalkan shalat, demi menangkap burung merpati emas yang hinggap di kaki beliau.
Orang yang sedikit saja punya rasa malu kepada Allah, tidak mungkin meninggalkan shalatnya hanya karena ingin menangkap seekor burung, sebagus apapun burung itu, apalagi figur yang diceritakan tersebut adalah Nabi sekaligus Rasul yang mulia?Apa patut beliau disamakan dengan orang-orang fasiq yang tergila-gila dengan keindahan dunia? “kedunyan”(jawa-red).
2.      Dikatakan bahwa Nabi Dawud terkesima dengan istri seorang perwiranya, dan beliau berusaha agar suaminya terbunuh untuk kemudian diperistri setelah suaminya tewas di medan pertempuran.
Skenario semacam ini hanya diperankan oleh movie-star yang berkarakter antagonis, yang selalu tampak kelicikannya demi mencapai kepentingan nafsu pribadinya yang penuh angkara.Bagaimana mungkin sifat demikian disandang oleh seorang Ksatria pilihan Allah yang diutus membawa keadilan dan perdamaian untuk bangsa Israel saat itu? Jelas ini adalah sebuah distorsi yang dihidangkan orang-orang zionis klasik untuk mengguncang keyakinan umat islam terhadap keagungan akhlak para Nabi dan Rasul.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya Al Fishal, dengan sangat tegas menguak kepalsuan kisah ini seraya mengatakan; “Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin mencintai istri tetangganya dan berencana membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya tersebut dan meninggalkan shalat karena melihat burung.Tidak mungkin itu semua dilakukan kecuali oleh orang-orang fasiq, bodoh sekaligus ngawur, lantas bagaimana dengan seorang Dawud, yang menerima wahyu dari Allah? Apa mungkin terlintas sedikitpun hal sekeji itu, apalagi sampai melakukannya?”[3].
Komentar yang sama juga disampaikan Ibnul ‘Arabi al Maliki, sebagaimana yang dinukil al Qurthubi dalam tafsirnya; “adapun ucapan mereka bahwa tatkala wanita ini(Batsyeba) membuat Nabi Dawud terpesona, kemudian beliau memerintahkan suaminya berperang sehingga terbunuh di jalan Allah, maka ini pasti cerita yang batil. Karena Nabi Dawud tidak mungkin menumpahkan darah hanya untuk kesenangan dirinya saja”[4].
Dalam Lubabut Ta’wil, Al Khazin juga ikut berkomentar; “Bab pembersihan nama Nabi Dawud ‘alaihis salam dari kisah yang tidak layak diisukan tentangnya. Ketahuilah, orang bertaqwa yang biasa saja seandainya diisukan memiliki cerita hidup demikian pasti akan mengingkarinya, apalagi beliau adalah seorang Nabi sekaligus Rasul yang dimuliakan Allah, dan diberi amanah untuk mengemban wahyu dengan misi da’wah. Sama sekali cerita itu tidak layak disandarkan kepadanya”[5].
Demikian pula Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan; “para  Ulama tafsir menyebutkan kisah-kisah semacam ini, kebanyakan bereferensikan cerita-cerita israiliyyat yang terambil dari umat pra-islam, dan tidak shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib diikuti, hanya saja kisah ini ditemukan dari riwayat Yazid Ar Ruqasyi dari Anas. Sementara, Yazid ini meskipun orang shalih, namun haditsnya lemah menurut para ulama.[6]
·         Tela’ah ayat pengkisah Nabi Dawud
Lebih jauh lagi, jika kita perdalam analisa kita untuk mengamati QS.Shad ayat 21-25.
dan apakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Dawud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata; “janganlah kamu takut, kami hanyalah dua orang yang bersengketa, yang seorang dari kami berbuat dhalim kepada yang lain, maka berikanlah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing, dan aku mempunyai seekor saja. Dia berkata; serahkan kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”. Dawud berkata; “sesungguhnya dia telah berbuat dhalim kepadamu dengan meminta kambingmu agar bersama kambing-kambingnya.Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lainnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, dan amat sedikit orang yang demikian”. Dan Dawud mengetahui bahwa kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Rabbnya, lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka kami ampuni kesalahannya itu.Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami dan tempat kembali yang baik”.
Memang jika kita baca sepintas, ayat yang tersampaikan terjemah maknanya di atas membuat kita mudah terpancing penceritaan yang sudah –kadung- populer di kalangan buku-buku tafsir yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat.Namun jika kita ingin klarifikasi kisah tersebut, seharusnya kita kupas secara utuh permulaan ayat yang membincang tentang Nabi Dawud sampai ayat penutupnya.Sehingga kita bisa benar-benar clear memahami kontekstualitas kisah yang tersirat dari redaksi ayat tersebut, dengan menggunakan pendekatan nalar obyektif dan pemahaman yang berdasar pada logika universal yang tidak terpengaruhi segala bentuk dogma parsial.
Saya menganalisa ayat yang memuat kisah Nabi Dawud, dalam QS.Shad, dimulai dari ayat ke-tujuh belas sampai pada ayat ke dua puluh enam.Sepuluh ayat tersebut bisa kita klasifikasikan menjadi tiga pembahasan.Pertama, perincian keutamaan Nabi Dawud, meliputi kepribadian dan keistimewaan beliau untuk dijadikan pedoman Rasulullah sebagai salah seorang Rasul pendahulu yang patut ditiru dan dijadikan acuan pada diri Rasulullah, terdapat pada ayat 17-20. Ke dua, pengkisahan dua orang yang bersengketa di hadapan Nabi Dawud dan keputusan beliau terhadap salah satu dari mereka berdua, cukup dengan mendengarkan perkataan pelapor tanpa mendengarkan pembicaraan dari pihak yang dilaporkan, terdapat pada ayat 21-25.Ke tiga, wejangan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Dawud, bahwa selain mengutus beliau sebagai Nabi dan Rasul, Allah juga mengangkat beliau menjadi seorang Khalifah, hendaknya berbuat adil dalam menegakkan hukum dan peringatan bagi semua pemimpin di muka bumi ini agar jangan sampai menjalankan kepemimpinan berdasarkan hawa nafsu. Hal ini bisa kita cerna pada ayat pamungkas pengkisahan Nabi Dawud, yakni ayat ke 26.
A.     Analisa ayat (17-20) dan (25-26)
Kisah Nabi Dawud dalam ayat-ayat ini, sangat berhubungan erat dengan kondisi hati Rasulullah yang sedang resah karena ulah orang-orang kafir yang mencemooh beliau dengan caci-maki yang menyakitkan bersamaan dengan diturunkannya.Maka turunnya ayat ini untuk menenangkan hati Rasulullah, meski ditinjau dari perbedaan versi penafsiran yang ada.
Pada ayat tujuh belas, Allah berfirman “ishbir ‘ala ma yaquluna wadzkur ‘abdana dawuda…”, ayat tersebut seolah-olah sedang menghibur Rasulullah yang sedang galau merasakan perkataan-perkataan kotor orang-orang kafir terhadap beliau, dengan cara mengaca pada seorang hamba yang bernama Dawud.
Jika dianalisa, ayat tersebut akan membongkar kejadian yang menimpa Nabi Dawud. Sebuah versi, ayat ini merupakan penyingkap dosa Dawud yang tertutup rapat. Versi lain mengatakan, ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan dosa yang difitnahkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salam. Berpijak pada versi pertama, maka ayat tersebut menenangkan hati Rasulullah, bahwa kepedihan beliau atas dosa orang-orang kafir yang mencaci-maki dengan perkataan kotor itu, tidak seberapa jika dibanding kepedihan Nabi Dawud atas dosanya sendiri yang telah dilakukan terhadap Uria dan Batsyeba. Berdasar pada versi ke dua, maka terkait dengan cara Nabi Dawud saat menghadapi kedua orang yang datang tiba-tiba, dengan cara melompati pagar istana, seperti penyusup dari pihak musuh sampai membuat Nabi Dawud ketakutan. Pun begitu, Nabi Dawud tidak lekas menggunakan aji mumpung kekuasaannya untuk memberikan sanksi kepada pelanggar aturan istana sekaligus pengganggu acara ritualnya.
Seandainya kita semua sepakat pada versi ke dua, tentu tidak perlu ada persoalan panjang mengenai tuduhan yang ditujukan kepada Nabi Dawud.Namun, oleh karena penceritaan dari masa ke masa yang dipopulerkan adalah versi pertama, maka sampai kini pun harus kita pelajari bersama agar semua persoalan bisa menjadi clear. Sehingga nama Nabi Dawud tidak terkotori oleh pemahaman-pemahaman picisan yang hanya merujuk pada satu referensi saja.
Akhir ayat 17 sampai ayat ke-20 dan ayat 25-26, Allah menampakkan sepuluh keistimewaan Nabi Dawud ‘alaihis salam. Yang patut dijadikan acuan Rasulullah sebagai salah satu Rasul pendahulu beliau yang dimuliakan Allah.Betapa tidak?
-          Pertama, Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar bersabar sebagaimana Nabi Dawud ‘alaihis salam dahulu juga bersabar akan sebuah kepedihan yang telah menimpanya. Hal ini saja sudah bisa kita tebak, seandainya memang Allah memvonis bahwa Nabi Dawud adalah pendosa, bagaimana mungkin Allah memerintahkan Rasulullah untuk merefleksi kesabaran Nabi Dawud kala itu?. Apa patut seorang pelaku kriminal dijadikan figur untuk diikuti kesabarannya? Tentu Nabi Dawud tidak seperti yang dituduhkan mereka.
-          Ke dua, dengan menyatakan “wadzkur ‘abdana dawuda…”, Allah sendiri mengakui bahwa Nabi Dawud adalah Hamba-Nya, dalam arti; ialah seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah sebagai penyembah setia, yang menjalani segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, apa masih ada kemungkinan manusia yang seperti itu melakukan tindakan asusila terhadap sesama dengan cara yang keji dan licik? Siapapun yang mempunyai nalar sehat pasti bisa menilai siapa yang pendosa sebenarnya. Orang yang diisukan kah? Atau sumber isu itu sendiri.
-          Ke tiga,Allah menyebut Dawud dengan sebutan “dzal aidi…”, artinya; yang memiliki kekuatan. Maksudnya, kekuatan dalam menjalankan ketaatan. Karena selain seorang Raja, Dawud adalah seorang Nabi dan Rasul, maka potensi dan segala kekuasaannya pasti disalurkan untuk kemaslahatan umat dan ketaatan kepada Allah. Kecuali jika kekuasaan tersebut digenggam oleh seorang Raja yang tidak memiliki secuil keimanan, mungkin saja hal yang menimpa Uriya dan Batsyeba bisa terjadi.  Apakah tindakan pengecut seperti itu mungkin dilakukan seorang Dawud? Yang terkenal Ksatria sejak usia belia dan kemudian bergelarkan Nabi dan Rasul sang penerima wahyu?,Tentu tidak!.
-          Ke empat, Allah menyebutnya di akhir ayat tujuh belas, “innahu awwab” yang artinya, sungguh ia(Dawud) paling rajin mengembalikan segala persoalannya kepada Allah. Bagaimana bisa mereka menganggap manusia yang demikian spesialnya adalah seorang pembunuh dan perebut istri orang lain? Andai bukan karena kebodohan atau kesombongan, tidak mungkin tuduhan terhadap Nabi Dawud itu terlontar begitu saja dari mulut mereka.
-          Ke lima,pada ayat delapan belas, Allah berfirman “inna sakhkharna al jibala ma’ahu yusabbihna bil ‘asyiyyi wal isyraaq”. –sesungguhnya kami tundukkan gunung-gunung baginya(Dawud), mereka bertasbih bersamanya di waktu sore dan pagi-, Raja sehebat ini, mengapa harus dengan cara membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba? Apalagi dengan modus pembunuhan yang licik? Siapapun yang mempunyai kelebihan demikian, tidak mungkin menggunakannya untuk sekedar melakukan tindakan yang hanya merendahkan martabatnya sendiri di mata Allah dan sesama.
-          Ke enam,firman Allah pada ayat Sembilan belas “wat thaira mahsyuuratan kullun lahu awwaab”. Termasuk keistimewaan Nabi Dawud adalah burung-burungpun berduyun-duyun mengiringi merdunya suara Nabi Dawud ikut bersama-sama dengan gunung-gunung bertasbih kepada Allah. Ada sebuah riwayat, seperti yang dikutip Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyatakan bahwa; Nabi Dawud tidak diperbolehkan berburu seekor burung untuk dibunuh[7]. Bagi yang akalnya masih berfungsi, seorang Raja yang burung pun merasa aman dan dimuliakan bersamanya, apa tidak mustahil jika ada manusia yang jauh lebih mulia daripada burung tidak bisa terjamin keamanan nyawa dan istrinya dari keangkaramurkaannya? Hanya anggapan berlebihan jika ada yang berfikir bahwa Nabi Dawud melakukan tindakan seburuk itu.
-          Ke tujuh, awal ayat dua puluh, Allah menegaskan keistimewaan Nabi Dawud dengan firman-Nya; “wa syadadna mulkahu…” –dan kami kokohkan kerajaannya-. Tentu Allah tidak akan mengokohkan kerajaan Dawud untuk menopang kemungkaran dan kemaksiatan, karena Dawud adalah Nabi sekaligus Rasul-Nya. Melainkan Allah mengokohkan kerajaan Dawud dalam rangka memback-up Nabi Dawud untuk menuntaskan misi risalah beliau dan demi kebahagiaan akhirah kelak. Jika Nabi Dawud memang type Raja yang angkara murka dan tidak bisa mengendalikan amarah serta birahinya, apa mungkin Allah membiarkan kerajaan Nabi Dawud tegak berdiri dengan kokoh atas pertolongan Allah? Bagi yang aktif mengkaji sejarah kerajaan bangsa-bangsa dhalim, pasti mendapati cerita akhir dari Raja-Raja yang angkara adalah ketumbangan dan kebinasaan. Mengapa mereka tidak membandingkannya dengan kerajaan Nabi Dawud?.
-          Ke delapan, keistimewaan berikutnya tercantum pada akhir ayat ke dua puluh, “wa aatainahul hikmata wa fashlal khithaab” –dan kami beri ia(Dawud) hikmah dan pilihan kata yang tepat saat mengutarakan isi hati- menurut Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya, maksud hikmah adalah segala hal yang mencakup ilmu serta pengamalannya. Sedangkan Fashlul khithab adalah, kemampuan untuk mengungkapkan fikiran dengan menggunakan pilihan kata yang tepat[8]. Sekarang mari kita uji nalar kita sendiri-sendiri, apakah orang yang diberi anugerah ilmu dan amal seperti Dawud ‘alaihis salam itu tega melakukan tindakan serendah yang dituduhkan kepada beliau? Bagi mereka yang berakal, pasti akan berfikir ulang untuk menyampaikan kisah yang tidak valid seperti itu. Karena seandainya tuduhan itu disematkan pada seseorang yang biasa-biasa saja, pasti dia akan mati-matian membela dirinya. Apalagi orang se-kaliber Dawud? Bagaimana mungkin Allah memberikan hikmah yang bermuatan ilmu sekaligus amal jika memang beliau membunuh Uria secara licik dan menyerobot Batsyeba dengan cara banci seperti yang dituduhkan?.
Delapan keistimewaan Nabi Dawud tersebut disampaikan Allah pada ayat 17-20, empat ayat sebelum menginjak ayat yang diasumsikan bahwa Nabi Dawud menyesali dosa besar yang telah beliau lakukan terhadap Uria dan Batsyeba pada ayat 21-24. Adapun jika kita amatikeistimewaa Nabi Dawud yang ke Sembilan dan sepuluh secara seksama, dua ayat (QS. Shad: 25 dan 26) setelah ayat-ayat tentang kejadian dua orang pelapor yang mengakibatkan Nabi Dawud menyesali kesalahan beliau, justru kita akan semakin yakin bahwa isu antara Nabi Dawud, Uria dan Batsyeba hanyalah kekonyolan penafsiran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
-          Ke Sembilan, ayat ke dua puluh lima, Firman Allah “fa ghafarnaa lahu dzalika, wa inna lahu ‘indanaa lazulfaa wa husna ma_aab” mari kita perhatikan, -kemudian kami mengampuninya(Dawud), dan sesungguhnya ia(Dawud) mempunyai kedekatan erat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik- seandainya memang benar Dawud telah bertindak kriminal seperti yang dituduhkan, merebut istri orang hanya untuk menuruti nafsu birahinya sendiri, apa mungkin Allah memujinya dengan kata-kata indah seperti ayat tersebut? Tentu mustahil itu terjadi, dan pasti Dawud tidak melakukannya sama sekali.
-          Ke sepuluh, ayat dua puluh enam. Allah berfirman; “yaa dawudu innaa ja’alnaaka khaliifatan fil ardli fahkum bainan naasi bil ‘adli…” –wahai Dawud, sesungguhnya kami jadikan engkau khalifah(pemimpin) di bumi, maka berilah putusan hukum kepada manusia secara adil…-, ayat pamungkas ini bisa menjadi titik final penepis tuduhan kepada Nabi Dawud, sekaligus kesaksian Al Qur’an itu sendiri bahwa pengkisahan Nabi Dawud telah bertindak dosa besar adalah dusta yang tidak bisa ditolerir. Hal ini bisa ditinjau dari beberapa alasan:
a.      Seandainya Dawud melakukan tindakan a-moral seperti yang dituduhkan, maka bagaimana mungkin Allah menyebutnya sebagai khalifah-Nya di bumi? Sementara Allah sedang menceritakan kejadian itu kepada Muhammad. Ibarat seorang Raja, ketika membicarakan sebagian hamba-Nya yang pendosa kepada Hamba-Nya yang lain, tidak mungkin Raja tersebut menceritakannya dengan sebutan-sebutan yang berkesan memuji dan memuliakannya. Pada ayat 26 ini, setelah menceritakan dosa besar yang telah dia lakukan –kalau memang benar demikian-, pada ayat 21-24, Allah malah menyatakan telah mengangkat Nabi Dawud menjadi seorang Raja yang dipuji-puji sedemikian rupa. Apa ini bukan merupakan pertanda bahwa Nabi Dawud tidaklah seorang pendosa seperti yang dituduhkan?
b.      Sebagaimana kaedah yang populer dalam teori ushul fikih, bahwa “dzikrul hukmi ‘aqibal washfi yadullu ‘ala kauni dzalikal hukmi mu’allalan bi dzalikal washfi”. –menyebutkan hukum sebuah perkara setelah menyebutkan sifatnya, menunjukkan bahwa hukum tersebut disebabkan oleh sifat yang disebut sebelumnya. Coba kita perhatikan pada ayat ke 26, kalau memang lima ayat sebelumnya menunjukkan bahwa Nabi Dawud adalah seorang pendosa, semestinya Allah mengolok-olok Nabi Dawud pada ayat berikutnya. Ternyata tidak, justru Allah malah mengangkatnya menjadi seorang Raja, ini menunjukkan bahwa Nabi Dawud bersih dari dosa yang dituduhkan kepada beliau.
c.       Jika ayat-ayat pengkisah Nabi Dawud ini diawali dengan penyebutan sifat-sifat yang mengistimewakan beliau, dan diakhiri dengan pengangkatan beliau menjadi seorang Raja, sementara di tengah-tengah memang benar beliau adalah pendosa seperti yang dituduhkan, bisa kita  katakana bahwa: -Dialah Nabi Dawud yang mulia dan terpuji, seorang Nabi yang memiliki sifat-sifat spesial dan luhur di sisi Allah, yang juga seorang pembunuh dan pelaku zina yang mendapat ampunan dan telah diangkat menjadi seorang Raja-. Akal sehat model bagaimanakah yang tidak tercengang mendengar pemberitaan semacam ini? siapapun yang memiliki nalar yang utuh, pasti akan segera mengklarifikasinya dan secepatnya menepis penceritaan sporadis seperti ini.
d.      Menurut versi mereka yang menyatakan ayat ini turun untuk mengungkap dosa Nabi Dawud, pada awalnya beliau berharap agar mendapatkan kemuliaan sebagaimana moyang beliau yang telah lulus ujian kesabaran, seperti Ibrahim sabar akan api yang mengancam kematian, Isma’il yang sabar untuk rela disembelih bapaknya sendiri, Ya’qub yang sabar menanggung kepedihan karena berpisah dengan Yusuf hingga buta matanya. Setelah beliau tahu bahwa suatu saat akan tiba masa beliau diuji untuk mendapatkan kemuliaan tersebut, demi mengangkat kemuliaan beliau di sisi Allah, bagaimana mungkin justru Nabi Dawud terjerumus dalam lingkaran dosa besar sebagai pembunuh dan pezina? Ini adalah pengkisahan yang semrawut, karena mengalami kontradiksi antara kisah awal dan kisah akhirnya.

B.      Analisa ayat 21-25
Ketika kita amati empat ayat yang menjadi titik pembahasan dosa Nabi Dawud ini, tidak ada satu pun indikasi yang membawa kesan bahwa Nabi Dawud telah bertindak kriminal, merebut Batsyeba dengan cara membunuh suaminya yang juga perwiranya sendiri bernama Uria.Justru sepuluh ayat yang mengkisahkan sepenggal riwayat perjalanan hidup Nabi Dawud ini, secara keseluruhan membawa kesan keagungan sang Nabi Kstaria, Dawud ‘alaihis salam.
Menurut penulis tafsir Mafatihul Ghaib, pelacakan kasus yang paling mendekati kebenaran dalam menafsirkan ayat-ayat ini adalah ketika dua orang bersengketa itu mendatangi Nabi Dawud, waktu itu adalah masa perang, setiap hari beliau tidak pernah luput dari ancaman pembunuhan yang direncanakan pihak musuh. Pada hari itu juga adalah jadwal Nabi Dawud berkonsentrasi dengan aktivitas ritual, bukan melayani umat, kemudian tiba-tiba kedua orang tersebut melompati pagar istana seperti penyusup untuk menemui Nabi Dawud setelah dihalang-halangi para penjaga. Ketika mereka menjumpai Nabi Dawud yang sedang terkejut berlapiskan kepanikan, khawatir mereka hendak menyerang beliau, mereka mengatakan “la takhaf, khashmaani baghaa ba’dluna ‘ala ba’dlin….”-jangan takut, kami adalah dua orang yang bersengketa, salah satu dari kami telah mendhalimi yang lain… dst-[9].
Selain itu, jika kita teliti setiap kata dari ayat-ayat tersebut tidak ada yang membawa kesan bahwa Nabi Dawud telah berdosa besar dengan melakukan tindakan maksiat yang fatal seperti yang dituduhkan, kalaupun ada indikasi bahwa Nabi Dawud telah bersalah, itu hanya bisa kita dapati pada empat letak. Pertama, “wa dhanna dawudu annamaa fatannaahu” –dan Dawud tahu bahwa Kami hanya mengujinya-.Ke dua, “fastaghfara rabbahu”-maka Dawud memohon ampunan kepada Tuhannya-. Ke tiga, “wa anaab” –dan dia(Dawud) kembali kepada Rabb-nya (bertaubat)-. Ke empat, “faghafarnaa lahu dzalika”-maka Kami ampuni kesalahannya-.
Meski demikian, bukan berarti bisa dijadikan bukti bahwa Nabi Dawud telah membunuh Uria demi dapat memperistri Batsyeba. Hal ini teruji dengan beberapa alasan:
1.      Ketika mereka masuk istana seperti penyusup, kepanikan dan ketakutan Nabi Dawud bisa membuat beliau murka dan menjatuhkan hukuman kepada kedua orang tersebut, sebagaimana umumnya Raja-Raja yang lain. Tapi begitu beliau menyadari bahwa ini adalah sebuah ujian, maka segeralah reda kemarahan beliau dan akhirnya berkenan menerima aduan mereka mengenai masalah mereka. Dan lalu beliau memohon ampunan kepada Allah, karena hampir saja melupakan jatidiri beliau sebagai Utusan Allah yang pasti diuji kesabarannya, hal ini sangat bisa dimaklumi bagi karakter seorang Raja pada saat ia sedang terancam bahaya serangan dari musuh.  
2.      Ketika mereka masuk istana dengan cara yang tidak layak, membuat Nabi Dawud terperanjat dan bersu-udh dhann bahwa mereka hendak membunuh beliau. Kemudian Nabi Dawud tahu bahwa itu tidak lain adalah cobaan dari Allah “wa dhanna dawudu annamaa fatannaahu”, dan lalu menyesali atas prasangka buruk yang tidak terbukti dalam kenyataan, “fastaghfara Rabbahu wa kharra raaki’an wa anaab”.
3.      Bisa jadi cobaan yang dimaksud pada ayat 24 tersebut adalah kedatangan dua orang yang bersengketa itu sendiri, mereka datang di hari yang tidak tepat dan dengan cara yang tidak sopan. Maka Nabi Dawud menyesali perbuatan mereka, karena telah mengganggu konsentrasi ibadah beliau, begitu Nabi Dawud tahu bahwa itu cobaan bagi beliau, lalu beliau tersungkur bersujud memohon ampunan bagi diri beliau sekaligus memintakan ampunan bagi kedua orang tersebut.
4.      Anggap saja Kita bisa menerima cara pandang mereka yang mengatakan bahwa ayat itu tidak mungkin tersampaikan kecuali menunjukkan bahwa ada unsur penyesalan yang sangat besar dari pihak Dawud, tidak mungkin itu terjadi jika tidak dipicu sebuah tindakan fatal yang mengakibatkan Dawud benar-benar menyesal.
Jika demikian, kami bisa setuju akan hal itu, tapi kami tidak bisa sepakat jika penyesalan Nabi Dawud dipicu sebuah dosa karena merebut Batsyeba dari tangan Uria dengan cara membunuhnya secara licik. Karena tidak ada pemberitaan yang valid dari sumber yang sah dan wajib diikuti, namun dalam redaksi teks ayat 23-awal 24 telah jelas secara tersurat, bahwa “inna hadza akhi lahu tis’un wa tis’uuna na’jatan wa liya na’jatun wahidah, fa qaala akfilniihaa wa ‘azzani fil khithaab. Qaala laqad dhalamaka bi suali na’jatika ilaa ni’aajih…”. -Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing, dan aku mempunyai seekor saja. Dia berkata; serahkan kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”. Dawud berkata; “sesungguhnya dia telah berbuat dhalim kepadamu dengan meminta kambingmu agar bersama kambing-kambingnya-.
Dari sini bisa kita nilai  bersama, bahwa Nabi Dawud secara serta merta menghukumi suatu kasus antara kedua orang tersebut cukup mendengarkan pembicaraan pelapor, tanpa meminta keterangan pihak yang dilaporkan. Jadi penyesalan Nabi Dawud dipicu dari situ, hal ini juga dikuatkan oleh ayat setelahnya yang mewejang Nabi Dawud agar memberikan keputusan hukum kepada umat beliau secara adil.Wallahu a’lam bish shawab
·         Penutup
Demikianlah hasil galau selama tiga hari yang bisa menelurkan kenangan seadanya, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua yang mau menekuni khazanah keilmuan Islam secara obyektif, dan tidak terkungkung oleh kepentingan-kepentingan yang mengebiri kebebasan kita berfikir luas.Sehingga kita bisa leluasa menentukan pemahaman yang sesuai dengan kebenaran ilmiah.
Besar kemungkinan, ada beberapa orang bertanya-tanya, memang tidak selayaknya kita beranggapan bahwa Nabi Dawud melakukan kejahatan yang tidak bisa ditolerir oleh ajaran agama apapun.tapi pada kenyataannya, banyak sekali aktivis-aktivis tafsir maupun hadis mengangkat persoalan ini, dan bahkan ada sebagian ulama yang dengan terang-terangan dalam pidatonya menyampaikan kisah Nabi Dawud dengan penceritaan yang tidak elok disandarkan kepada beliu. Bagaimanakah solusinya agar kita bisa mengambil sikap yang bijaksana?
Menurut hemat penulis, ketika terjadi kontroversi antara dalil-dalil qath’i dan dalil-dalil yang diriwayatkan perorangan, maka dalil-dalil qath’i diutamakan pengamalannya.Ketika kita bandingkan, antara yang tercantum dalam sepuluh ayat di atas dengan keterangan penceritaan yang sampai kepada kita, manakah yang lebih utama untuk kita yakini? Tentu apa yang disampaikan dalam al Qur’anlah yang paling patut kita yakini. Selain itu, kaedah fikih yang tidak asing lagi bagi para santri, bisa dijadikan rujukan, bahwa “al ashlu bara_atudz dzimmah”-hukum asal, setiap orang itu tidak memiliki tanggungan apapun-, tanpa ada sebuah bukti konkrit, bahwa penceritaan tentang kasus Nabi Dawud dengan Batsyeba bisa dipertanggungjawabkan, maka sampai kapanpun Nabi Dawud tetap bersih namanya dari pencemaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ada juga sebuah kaedah yang cukup populer di kalangan kita, bahwa “idza ta’aradla dalilut tahrim wat tahlil, fadalilut tahrim aula bil akhdzi” –ketika terjadi kontradiksi antara dalil yang mengharamkan dan dalil yang menghalalkan, maka memakai dalil yang mengharamkan itu lebih utama-.Dawud adalah seorang Nabi sekaligus Rasul, tidak mungkin tindakan kriminal yang membuat beliau melakukan dosa besar, ini adalah dalil tahrim.Di sisi lain, Dawud adalah seorang manusia yang memiliki bawaan salah dan lupa, bukan tidak mungkin kalau Nabi Dawud juga bisa terjerumus dalam dosa, meski Allah mengampuni beliau di kemudian hari, ini adalah dalil tahlil. Dua persepsi yang kontroversi seperti ini ketika berbenturan, maka yang mengatakan tidak mungkin, didahulukan.Sekian, walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin…


[1] . penceritaan kisah ini bisa kit abaca di kitab perjanjian baru (2 Samuel 12, 1-25)

[2] . At-Tahdzib Ibnu Hajar no. 498, Mizanul I’tidal, 4:418, At-Tarikul Kabir, Al-Bukhari, 8:320 dan lainnya
[3].Ibnu Hazm, al Fishal, juz 4 hal. 41
[4] . al Qurthubi, Tafsir al Qurthubi, juz 15 hal. 176
[5] . Al Khazin, Lubabut Ta’wil, juz 6 hal. 49
[6] . Tafsir Ibnu Katsir, juz 12 hal. 82
[7] . Fakhrud din al Razi, Mafatihul Ghaib juz. 26 hal. 190
[8] . fakhrud din al Razi, Mafatihul Gahib juz . 26 hal. 190
[9] . Fakhrud Din al Razi, Mafatihul Ghaib juz 26 hal. 193