·
Mukaddimah
Dialah Dawud ‘alaihis salam
(sekitar 1041-971 SM), Raja Israel ke-dua setelah Thalout, ayah mertua beliau
dengan menikahi putrinya yang bernama Mikhal, setelah beliau berhasil
menumbangkan perwira raksasa pilih
tanding –Jalut- (Galiat) di medan pertempuran. Nabiyyullah Dawud‘alaihis
salam diangkat menjadi Rasul pada tahun 1010 SM, Bersamaan dengan
diturunkannya kitab Zabur kepadanya .
Tulisan ini, berawal dari obrolan sersan
(serius tapi santai) di kediaman sahabat saya, sang Rasul tanpa Mu’jizat
kawasan Gunung Muria; K.Husnul Mubarak, di sela-sela ia menenangkan temannya yang sedang dilanda galau stadium
tiga. Urainya, sekian banyak bacaan yang merisaukan fikirannya tentang
kama’shuman para nabi dan rasul (terjaga dari dosa), namun pada kenyataannya dijumpai
juga sejumlah ayat-ayat Al Qur’an yang membincang soal dosa dan kesalahan
sebagian para Rasul itu sendiri.Terkhusus pada QS. Shad: 21-25 yang tengah
membicarakan kasus Nabi Dawud jatuh hati kepada seorang wanita cantik mempesona
bernama Batsyeba, yang ternyata adalah istri tunggal salah satu panglima
perangnya sendiri, bernama Uria. Kemudian Dawud memerintahkan Pimpinan tertinggi
pasukannya untuk memindahtugaskan Uria ke medan pertempuran yang lebih sulit,
hingga akhirnya Uria tewas setelah bertempur yang ketiga kalinya.
Menurut teman saya tersebut, jika
masalah yang problematik ini tidak terselesaikan penceritaannya, dan kita
biarkan menggelinding begitu saja, tersampaikan di pengajian-pengajian yang
sarat dengan “dongeng” seperti di kampung-kampung. Maka akan selamanya
diabadikan dari generasi ke generasi, menjadi pengganjal keyakinan umat islam
bahwa para Nabi dan Rasul adalah hamba-hamba Allah yang terjaga dari lumuran
dosa.
Kemudian saya menyanggupi untuk
menuliskan seuntai pemahaman saya tentang kema’shuman para Nabi dan
Rasul dengan spesifikasi ayat Al Qur’an yang disampaikan teman akrab saya
tersebut, meski dengan segala kedangkalan sarana fikir dan minimnya bacaan yang
saya jadikan rujukan, mudah-mudahan bisa kita tela’ah bersama demi mendapatkan
pemahaman kolektif yang solutif dan bermanfaat bagi kita semua.
·
Kema’shuman para Nabi dan Rasul
Kata ma’shum diambil dari ‘ashama-ya’shimu-‘ishmatan
yang berarti menjaga.Dalam bentuk maf’ulnya (pasif) bemakna
terjaga/dijaga.Maksud bahwa Rasul dan Nabi itu Ma’shum adalah; terjaga dari
kesalahan yang menurut versi manusia biasa, itu adalah dosa yang menjerumuskan
mereka kepada ancaman murka Allah.Kendati demikian, Nabi dan Rasul juga manusia
yang tidak akan luput dari salah dan lupa, namun mereka terhindar dari
kesalahan fatal yang mengakibatkan ancaman siksa neraka, karena mereka memiliki
tingkatan dosa khusus yang menurut versi manusia biasa adalah hal yang
wajar-wajar saja. pun begitu menurut para nabi dan rasul, itu merupakan dosa
yang menuntut mereka harus segera bertaubat dan tidak boleh terulang kembali.
Ini yang sering kita kenal dalam ungkapan “hasanaatul abraar, sayyiaatul
muqarrabin” kebaikan level
orang-orang baik adalah keburukan level orang-orang yang didekatkan
kepada Allah.
Sebuah contoh; ketika usai Perang
Badar, pasukan dari pihak kafir Quraisy banyak yang menjadi tawanan tentara
islam lantaran mereka gagal menggempur pasukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.Berhubung wahyu tidak segera turun mengenai tawanan
perang, Rasulullah menghimpun para sahabat untuk diajak berpertimbangan, Umar
bin Khattab radliyallahu ‘anhu berpendapat; hendaknya mereka semua
dibunuh. Sementara Abu Bakar as Shiddiq yang berperasaan lemah lembut
mengusulkan agar mereka dibiarkan hidup untuk bisa ditebus demi menambah
kekuatan dan kesejahteraan umat islam, serta harapan agar mereka berkesempatan
mau menerima islam. Kemudian Rasulullah lebih memilih pendapat Abu Bakar dengan
pertimbangan bahwa itu tidak menyalahi aturan Allah, karena tidak ada instruksi
langsung dari langit, -antara membunuh tawanan perang ataukah memberlakukan
tebusan-.Juga bisa dikatakan, ketika dihadapkan dua pilihan, Rasulullah selalu
memilih yang termudah sepanjang tidak menimbulkan dosa dan tidak menyebabkan
terputusnya silatur rahim.Begitu Rasulullah menerima tebusan, turunlah wahyu
yang mengkritik tindakan Rasulullah yang telah memilih kebijakan baik, tapi
mengabaikan kebijakan yang lebih baik.Karena kebijakan yang lebih baik
semestinya adalah membunuh tawanan perang badar yang terdiri dari para pembesar
kaum musyrikin Makkah.
Kemudian Rasulullah menangis meratapi
kesalahan beliau di dekat sebuah bangunan rumah, ketika Abu bakar melihat
Rasulullah yang sedang menangis tersedu-sedu, Abu Bakar pun menghampiri beliau
yang sedang tidak mampu berucap sepatah kata.tanpa menyoal, Abu Bakar pun duduk
di sisi Rasulullah sambil turut bercucuran air mata. Tidak tahan mendengar isak
tangis mereka berdua, Umar bin Khattab menghampiri dan memberanikan diri
menyapa Rasulullah saw; “duhai Rasulallah, jika ada masalah yang saya patut
turut berduka, izinkan saya menangis bersamamu, jika anda tidak berkenan,
izinkan saya menghiburmu”. Rasulullah menjawab; “aku diperlihatkan sebuah
siksaan umatku yang lebih dekat daripada ini”, -sambil berisyarat ke arah
tembok yang ada di depannya-.Umar menyahut; “dosa apakah gerangan yang telah
dilakukan Rasulullah?”, Rasulullah menjawab: “dia telah memilih kebijakan yang
utama, bukan yang paling utama -mengenai tawanan perang badar-, dan ini bagi
para Nabi sudah dianggap sebuah kesalahan fatal yang mengakibatkan dosa”.Sementara
bagi umat manusia biasa ketika berijtihad, jika benar mendapatkan dua pahala,
dan jika salah, maka mendapatkan satu pahala.
Dari contoh di atas, bisa kita
jadikan sebuah titik terang bahwa kema’shuman para Nabi dan Rasul bukanlah
berarti terjaga dari kesalahan secara mutlak, melainkan terjaga dari sebuah
dosa dalam arti melanggar syari’at yang sudah diatur dalam hidup beragama pada
zamannya.jika kita tela’ah, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang membincang
soal sifat manusiawi para Nabi dan Rasul dengan cara menegur, mengkritik,
mengingatkan dan menasehati mereka agar bersikap lebih bijaksana sebagai
hamba-hamba pilihan Allah swt, tanpa mengurangi kehormatan mereka di sisi Allah
sebagai Nabi dan Rasul.
Bisa kita baca kisah Nabi Adam di
banyak Surah dalam al Qur’an, misal: QS. Al Baqarah: , QS. Al A’raf , QS. Thaha
dan lain sebagainya. Kisah Nabi Yusuf, QS. Yusuf. Kisah Nabi Dawud, QS. Shad.
Kisah Nabi Sulaiman, QS. Shad.Dan lain-lain.
·
Nabi Dawud as bukan pendosa
Pada kesempatan ini, saya akan
berkonsentrasi pada pengkisahan Nabi Dawud ‘alaihis salam, sebagaimana
permintaan sahabat saya, dengan menela’ah QS. Shad: 21-25. Namun yang perlu
kita ketahui pertama di sini, untuk menganalisa ayat al Qur’an yang
mengkisahkan sebuah kejadian, perlu kita teliti ayat-ayat tersebut secara utuh,
jika kita baca dan fahami secara penggalan-penggalan saja, seringkali hanya
akan menimbulkan penafsiran-penafsiran yang keliru terhadap firman Allah
tersebut.
Kita ambil saja sebuah contoh pengkisahan Nabi
Dawud as dalam penceritaan umat terdahulu, konon Nabi Dawud ‘alaihis salam
membagi siklus aktivitasnya dalam tiga hari.Satu hari untuk beribadah, satu
hari yang lain untuk umat manusia, dan satu hari lagi untuk istri-istrinya yang
berjumlah 99. Setiap kali Dawud ‘alaihis salam membaca Al Kitab, beliau
mendapati keutamaan Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub ‘alaihimus salam. Lalu
beliau berkata; “Ya Allah, segala keutamaan telah dihabiskan oleh moyang hamba,
maka berikanlah hamba keutamaan sebagaimana Engkau berikan kepada
mereka”.Kemudian Allah mewahyukan kepadanya; “bahwasanya moyangmu telah
mendapatkan ujian, Ibrahim diuji dengan harus menyembelih anaknya, Isma’il
diuji dengan ancaman kematian di usia dini, sedangkan Ya’qub diuji dengan
kesedihan luar biasa lantaran kehilangan anak kesayangannya, yakni Yusuf sampai
mengalami kebutaan kedua matanya”.Nabi Dawud pun berkata; “kalau begitu, ujilah
hamba seperti mereka, berilah hamba keutamaan seperti mereka”.Lalu Allah
mewahyukan; “bahwa engkau akan diuji, maka bersiap-siaplah”.
Selepas kejadian itu, datang seekor
burung merpati yang berwarna mengkilat seperti emas menghinggapi kaki beliau
saat sedang mendirikan shalat. ketika hendak diraih, merpati emas itu terbang
menuju arah atap istana, Nabi Dawud pun membuntutinya sampai ke dekat pemandian
istana, tiba-tiba beliau melihat seorang wanita yang sangat cantik sedang mandi
di loteng rumahnya, wanita itu pun melihat Nabi Dawud , lalu segera ia julurkan
rambutnya ke seluruh tubuhnya, hal itu membuat Dawud semakin terpesona
dibuatnya. Kemudian Nabi Dawud menanyakan tentang sosok wanita tersebut,
ternyata ia adalah istri salah satu perwira yang sedang ikut di medan perang
(Uria).
Sesegera mungkin Nabi Dawud mengutus
Panglima tertinggi untuk menempatkan Uria di barisan pasukan yang berada di
medan yang paling berbahaya, hingga akhirnya terbunuh di medan ke tiga, setelah
berhasil memenangkan dua medan tersulit lainnya. Kemudian setelah Nabi Dawud
menikahi istri Uria (Batsyeba), pada jadwal hari ibadah, Allah mengutus dua
malaikat mendatangi beliau dengan berwujud manusia.Saat meminta izin untuk
menemui beliau, mereka dihalangi para penjaga sebab hari itu bukan jadwal hari
Nabi Dawud melayani umat manusia, kemudian mereka berdua nekad melompat pagar
dan segera menemui Nabi Dawud yang sedang mendirikan shalat. Keduanya lalu
duduk di hadapannya sampai membuat Nabi Dawud terkejut.Lalu mereka berkata; “kamu
tidak perlu takut, kami hanya dua orang yang bersengketa.Salah satu dari kami
mendhalimi lainnya, maka berikanlah keputusan bagi kami secara adil”.Nabi
Dawud berkata; “kalau begitu, ceritakanlah urusan kalian berdua”.Salah
satunya berkata; “saudaraku ini memiliki 99 kambing, sedangkan saya hanya
memiliki satu ekor kambing, namun ia hendak merebut kambingku agar kambingnya
jadi genap seratus”. Nabi Dawud bertanya kepada perebut kambing; “apakah
saudaramu itu rela menyerahkan kambingnya?”ia menjawab; “tidak, ia tidak
merelakannya”. Maka Nabi Dawud berkeputusan; “kalau begitu, kami tidak
akan membiarkanmu melakukannya, jika engkau merebutnya, maka kami akan
menghukummu”.
Tiba-tiba salah satu dari keduanya
berkata; “wahai Dawud, engkau lebih berhak untuk dihukum, engkau mempunyai
99 istri, sedangkan Uria hanya beristri satu, engkau kirim dia berperang di
medan yang sulit agar ia terbunuh lalu kamu bisa leluasa menikahi istrinya”.
Mendengar ucapan tersebut, seketika
Nabi Dawud sadar bahwa beliau telah berbuat salah, segeralah beliau tersungkur
sujud dan menangis selama empat puluh hari tidak pernah bangkit kecuali untuk
keperluan mendesak, sampai tanah yang terkena air mata Nabi Dawud tumbuh
rumput. Akhirnya Allah mewahyukan kepada beliau; “wahai Dawud, berdirilah,
aku telah mengampuni dosamu”. Lalu Nabi Dawud berkata; “Ya Allah, saya
mengetahui bahwa Engkau telah mengampuni hamba, namun jika nanti pada hari
kiamat, Uria datang menenteng kepalanya yang berlumuran darah, lalu dia
berkata; “Ya Allah, tanyalah Dawud, mengapa dia membunuhku?” maka Allah
menjawab; “jika demikian, maka aku akan memanggil Uria, dan akan Aku pinta
keikhlasannyauntukmu, yang dengannya akan Aku balas dengan surga, niscaya dia
akan merelakannya untukmu”. Dawud berkata; “sekarang hamba benar-benar
tahu bahwa Engkau telah mengampuni hamba”[1].
-
Keabsahan Kisah
Hal senada juga bisa kita dapati
dalam versi Islam, bahkan mungkin dikatakan populer di kalangan ahli tafsir dan
hadits.Seperti dikutip oleh At Tirmidzi dan Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan
Ibnu Abi Hatim yang disebutkan oleh Al Qurthubi dan Ath Thabari dalam tafsir
mereka, begitu juga As Suyuthi dalam Ad Durr al Mantsur. Semuanya dari
jalur riwayat dari Yazid Ar Ruqasyi dari Anas bin Malik secara marfu’.
Dengan demikian, perlu kiranya kita
telisik secara kritis keabsahan riwayat tersebut. Karena jika sesuatu yang
bersumber dari literatur umat islam, pasti mengandung kebenaran dan
kemaslahatan. Namun jika ini menyangkut harga diri seorang Nabi yang tertuduh
sebagai pendosa dan bertindak asusila terhadap umat manusia, pasti ada yang
tidak beres dalam keabsahan penceritaannya. Kecuali jika hal tersebut bersumber
tunggal dari umat sebelum islam, maka cukup kita tanamkan prinsip “la
nushaddiquhum wa la nukadzdzibuhum” –kita tidak perlu membenarkan secara
mutlak, juga tidak menganggap kebohongan
penceritaan mereka-. bagi umat islam, sudah cukup mengambil mana yang jernih,
dan meninggalkan mana yang keruh, -khudz ma shafa wa da’ ma kadar-.
Jika kita amati, periwayatan kisah
tersebut ternyata terbukti kebatilannya. Dan tidak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, baik dari sisi sanad (jalur sumber cerita) maupun dari sisi matan
(redaksi penceritaannya).
a. Dari sisi Sanad
Semua jalur kisah ini bersumber dari
Yazid bin Aban ar Ruqasyi, sedangkan dia terkenal sebagai orang yang sangat
lemah periwayatannya, bahkan ditinggalkan haditsnya.
Dalam kitab At Tahdzib, Ibnu
Hajar mengutip perkataan An Nasa’i, Hakim dan Ahmad, bahwa Yazid al Ruqasyi
tergolong periwayat hadits matruk (ditinggalkan haditsnya). Sementara
sudah jamak diketahui bagi pegiat ilmu hadits, jika Imam Nasa’i telah memvonis
–matruk- terhadap seseorang, maka berarti para Ulama sepakat untuk
meninggalkan haditsnya.Begitupun Imam Ahmad juga mengatakan; “Yazid orang
haditsnya munkar”.Bahkan karena kerasnya pengingkaran sebagian ulama
terhadapnya, sampai-sampai Imam Syu’bah berkata; “seandainya saya berzina, itu
lebih baik dari pada saya meriwayatkan hadits dari Yazid Ar Ruqasyi”[2].
b. Dari sisi
Matan
Ditinjau dari sisi matan, pengkisahan
Nabi Dawud ‘alaihis salam pada kasus ini juga banyak sekali titik-titik
problematisnya. Kita bidik di antaranya:
1. Diceritakan
bahwa Nabi Dawud meninggalkan shalat, demi menangkap burung merpati emas yang
hinggap di kaki beliau.
Orang yang sedikit saja punya rasa
malu kepada Allah, tidak mungkin meninggalkan shalatnya hanya karena ingin
menangkap seekor burung, sebagus apapun burung itu, apalagi figur yang
diceritakan tersebut adalah Nabi sekaligus Rasul yang mulia?Apa patut beliau disamakan
dengan orang-orang fasiq yang tergila-gila dengan keindahan dunia?
“kedunyan”(jawa-red).
2. Dikatakan bahwa
Nabi Dawud terkesima dengan istri seorang perwiranya, dan beliau berusaha agar
suaminya terbunuh untuk kemudian diperistri setelah suaminya tewas di medan
pertempuran.
Skenario semacam ini hanya diperankan
oleh movie-star yang berkarakter antagonis, yang selalu tampak
kelicikannya demi mencapai kepentingan nafsu pribadinya yang penuh angkara.Bagaimana
mungkin sifat demikian disandang oleh seorang Ksatria pilihan Allah yang diutus
membawa keadilan dan perdamaian untuk bangsa Israel saat itu? Jelas ini adalah
sebuah distorsi yang dihidangkan orang-orang zionis klasik untuk mengguncang
keyakinan umat islam terhadap keagungan akhlak para Nabi dan Rasul.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya Al
Fishal, dengan sangat tegas menguak kepalsuan kisah ini seraya mengatakan;
“Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin mencintai istri tetangganya dan
berencana membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya tersebut dan
meninggalkan shalat karena melihat burung.Tidak mungkin itu semua dilakukan
kecuali oleh orang-orang fasiq, bodoh sekaligus ngawur, lantas bagaimana dengan
seorang Dawud, yang menerima wahyu dari Allah? Apa mungkin terlintas sedikitpun
hal sekeji itu, apalagi sampai melakukannya?”[3].
Komentar yang sama juga disampaikan
Ibnul ‘Arabi al Maliki, sebagaimana yang dinukil al Qurthubi dalam tafsirnya;
“adapun ucapan mereka bahwa tatkala wanita ini(Batsyeba) membuat Nabi Dawud
terpesona, kemudian beliau memerintahkan suaminya berperang sehingga terbunuh
di jalan Allah, maka ini pasti cerita yang batil. Karena Nabi Dawud tidak
mungkin menumpahkan darah hanya untuk kesenangan dirinya saja”[4].
Dalam Lubabut Ta’wil, Al Khazin
juga ikut berkomentar; “Bab pembersihan nama Nabi Dawud ‘alaihis salam
dari kisah yang tidak layak diisukan tentangnya. Ketahuilah, orang bertaqwa
yang biasa saja seandainya diisukan memiliki cerita hidup demikian pasti akan
mengingkarinya, apalagi beliau adalah seorang Nabi sekaligus Rasul yang
dimuliakan Allah, dan diberi amanah untuk mengemban wahyu dengan misi da’wah.
Sama sekali cerita itu tidak layak disandarkan kepadanya”[5].
Demikian pula Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menyatakan; “para Ulama tafsir
menyebutkan kisah-kisah semacam ini, kebanyakan bereferensikan cerita-cerita
israiliyyat yang terambil dari umat pra-islam, dan tidak shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib diikuti, hanya saja kisah ini
ditemukan dari riwayat Yazid Ar Ruqasyi dari Anas. Sementara, Yazid ini
meskipun orang shalih, namun haditsnya lemah menurut para ulama.[6]”
·
Tela’ah ayat pengkisah Nabi Dawud
Lebih jauh lagi, jika kita perdalam
analisa kita untuk mengamati QS.Shad ayat 21-25.
“dan apakah sampai kepadamu berita
orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk
(menemui) Dawud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata;
“janganlah kamu takut, kami hanyalah dua orang yang bersengketa, yang seorang
dari kami berbuat dhalim kepada yang lain, maka berikanlah keputusan antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkanlah
kami ke jalan yang lurus.Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing,
dan aku mempunyai seekor saja. Dia berkata; serahkan kambingmu itu kepadaku,
dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”. Dawud berkata; “sesungguhnya dia
telah berbuat dhalim kepadamu dengan meminta kambingmu agar bersama
kambing-kambingnya.Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lainnya, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, dan amat sedikit orang
yang demikian”. Dan Dawud mengetahui bahwa kami mengujinya, maka ia meminta
ampun kepada Rabbnya, lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka kami ampuni
kesalahannya itu.Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami
dan tempat kembali yang baik”.
Memang jika kita baca sepintas, ayat
yang tersampaikan terjemah maknanya di atas membuat kita mudah terpancing
penceritaan yang sudah –kadung- populer di kalangan buku-buku tafsir
yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat.Namun jika kita ingin klarifikasi kisah
tersebut, seharusnya kita kupas secara utuh permulaan ayat yang membincang
tentang Nabi Dawud sampai ayat penutupnya.Sehingga kita bisa benar-benar clear
memahami kontekstualitas kisah yang tersirat dari redaksi ayat tersebut, dengan
menggunakan pendekatan nalar obyektif dan pemahaman yang berdasar pada logika
universal yang tidak terpengaruhi segala bentuk dogma parsial.
Saya menganalisa ayat yang memuat
kisah Nabi Dawud, dalam QS.Shad, dimulai dari ayat ke-tujuh belas sampai pada
ayat ke dua puluh enam.Sepuluh ayat tersebut bisa kita klasifikasikan menjadi
tiga pembahasan.Pertama, perincian keutamaan Nabi Dawud, meliputi
kepribadian dan keistimewaan beliau untuk dijadikan pedoman Rasulullah sebagai
salah seorang Rasul pendahulu yang patut ditiru dan dijadikan acuan pada diri
Rasulullah, terdapat pada ayat 17-20. Ke dua, pengkisahan dua orang yang
bersengketa di hadapan Nabi Dawud dan keputusan beliau terhadap salah satu dari
mereka berdua, cukup dengan mendengarkan perkataan pelapor tanpa mendengarkan
pembicaraan dari pihak yang dilaporkan, terdapat pada ayat 21-25.Ke tiga,
wejangan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Dawud, bahwa selain
mengutus beliau sebagai Nabi dan Rasul, Allah juga mengangkat beliau menjadi
seorang Khalifah, hendaknya berbuat adil dalam menegakkan hukum dan peringatan
bagi semua pemimpin di muka bumi ini agar jangan sampai menjalankan
kepemimpinan berdasarkan hawa nafsu. Hal ini bisa kita cerna pada ayat
pamungkas pengkisahan Nabi Dawud, yakni ayat ke 26.
A. Analisa ayat (17-20)
dan (25-26)
Kisah Nabi Dawud dalam ayat-ayat ini,
sangat berhubungan erat dengan kondisi hati Rasulullah yang sedang resah karena
ulah orang-orang kafir yang mencemooh beliau dengan caci-maki yang menyakitkan
bersamaan dengan diturunkannya.Maka turunnya ayat ini untuk menenangkan hati
Rasulullah, meski ditinjau dari perbedaan versi penafsiran yang ada.
Pada ayat tujuh belas, Allah
berfirman “ishbir ‘ala ma yaquluna wadzkur ‘abdana dawuda…”, ayat
tersebut seolah-olah sedang menghibur Rasulullah yang sedang galau merasakan
perkataan-perkataan kotor orang-orang kafir terhadap beliau, dengan cara
mengaca pada seorang hamba yang bernama Dawud.
Jika dianalisa, ayat tersebut akan
membongkar kejadian yang menimpa Nabi Dawud. Sebuah versi, ayat ini merupakan
penyingkap dosa Dawud yang tertutup rapat. Versi lain mengatakan, ayat ini
tidak ada hubungannya sama sekali dengan dosa yang difitnahkan kepada Nabi
Dawud ‘alaihis salam. Berpijak pada versi pertama, maka ayat tersebut
menenangkan hati Rasulullah, bahwa kepedihan beliau atas dosa orang-orang kafir
yang mencaci-maki dengan perkataan kotor itu, tidak seberapa jika dibanding
kepedihan Nabi Dawud atas dosanya sendiri yang telah dilakukan terhadap Uria
dan Batsyeba. Berdasar pada versi ke dua, maka terkait dengan cara Nabi Dawud
saat menghadapi kedua orang yang datang tiba-tiba, dengan cara melompati pagar istana,
seperti penyusup dari pihak musuh sampai membuat Nabi Dawud ketakutan. Pun
begitu, Nabi Dawud tidak lekas menggunakan aji mumpung kekuasaannya
untuk memberikan sanksi kepada pelanggar aturan istana sekaligus pengganggu
acara ritualnya.
Seandainya kita semua sepakat pada
versi ke dua, tentu tidak perlu ada persoalan panjang mengenai tuduhan yang
ditujukan kepada Nabi Dawud.Namun, oleh karena penceritaan dari masa ke masa
yang dipopulerkan adalah versi pertama, maka sampai kini pun harus kita
pelajari bersama agar semua persoalan bisa menjadi clear. Sehingga nama Nabi
Dawud tidak terkotori oleh pemahaman-pemahaman picisan yang hanya merujuk pada
satu referensi saja.
Akhir ayat 17 sampai ayat ke-20 dan
ayat 25-26, Allah menampakkan sepuluh keistimewaan Nabi Dawud ‘alaihis salam.
Yang patut dijadikan acuan Rasulullah sebagai salah satu Rasul pendahulu beliau
yang dimuliakan Allah.Betapa tidak?
-
Pertama, Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam agar bersabar sebagaimana Nabi Dawud ‘alaihis salam
dahulu juga bersabar akan sebuah kepedihan yang telah menimpanya. Hal ini saja
sudah bisa kita tebak, seandainya memang Allah memvonis bahwa Nabi Dawud adalah
pendosa, bagaimana mungkin Allah memerintahkan Rasulullah untuk merefleksi
kesabaran Nabi Dawud kala itu?. Apa patut seorang pelaku kriminal dijadikan figur
untuk diikuti kesabarannya? Tentu Nabi Dawud tidak seperti yang dituduhkan
mereka.
-
Ke dua, dengan menyatakan “wadzkur ‘abdana
dawuda…”, Allah sendiri mengakui bahwa Nabi Dawud adalah Hamba-Nya, dalam
arti; ialah seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah sebagai penyembah
setia, yang menjalani segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Dengan demikian, apa masih ada kemungkinan manusia yang seperti itu melakukan
tindakan asusila terhadap sesama dengan cara yang keji dan licik? Siapapun yang
mempunyai nalar sehat pasti bisa menilai siapa yang pendosa sebenarnya. Orang
yang diisukan kah? Atau sumber isu itu sendiri.
-
Ke tiga,Allah menyebut Dawud dengan sebutan “dzal
aidi…”, artinya; yang memiliki kekuatan. Maksudnya, kekuatan dalam
menjalankan ketaatan. Karena selain seorang Raja, Dawud adalah seorang Nabi dan
Rasul, maka potensi dan segala kekuasaannya pasti disalurkan untuk kemaslahatan
umat dan ketaatan kepada Allah. Kecuali jika kekuasaan tersebut digenggam oleh
seorang Raja yang tidak memiliki secuil keimanan, mungkin saja hal yang menimpa
Uriya dan Batsyeba bisa terjadi. Apakah
tindakan pengecut seperti itu mungkin dilakukan seorang Dawud? Yang terkenal
Ksatria sejak usia belia dan kemudian bergelarkan Nabi dan Rasul sang penerima
wahyu?,Tentu tidak!.
-
Ke empat, Allah menyebutnya di akhir ayat
tujuh belas, “innahu awwab” yang artinya, sungguh ia(Dawud) paling rajin
mengembalikan segala persoalannya kepada Allah. Bagaimana bisa mereka
menganggap manusia yang demikian spesialnya adalah seorang pembunuh dan perebut
istri orang lain? Andai bukan karena kebodohan atau kesombongan, tidak mungkin
tuduhan terhadap Nabi Dawud itu terlontar begitu saja dari mulut mereka.
-
Ke lima,pada ayat delapan belas, Allah
berfirman “inna sakhkharna al jibala ma’ahu yusabbihna bil ‘asyiyyi wal
isyraaq”. –sesungguhnya kami tundukkan gunung-gunung baginya(Dawud),
mereka bertasbih bersamanya di waktu sore dan pagi-, Raja sehebat ini,
mengapa harus dengan cara membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba? Apalagi
dengan modus pembunuhan yang licik? Siapapun yang mempunyai kelebihan demikian,
tidak mungkin menggunakannya untuk sekedar melakukan tindakan yang hanya
merendahkan martabatnya sendiri di mata Allah dan sesama.
-
Ke enam,firman Allah pada ayat Sembilan belas
“wat thaira mahsyuuratan kullun lahu awwaab”. Termasuk keistimewaan Nabi
Dawud adalah burung-burungpun berduyun-duyun mengiringi merdunya suara Nabi
Dawud ikut bersama-sama dengan gunung-gunung bertasbih kepada Allah. Ada sebuah
riwayat, seperti yang dikutip Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyatakan
bahwa; Nabi Dawud tidak diperbolehkan berburu seekor burung untuk dibunuh[7].
Bagi yang akalnya masih berfungsi, seorang Raja yang burung pun merasa aman dan
dimuliakan bersamanya, apa tidak mustahil jika ada manusia yang jauh lebih
mulia daripada burung tidak bisa terjamin keamanan nyawa dan istrinya dari
keangkaramurkaannya? Hanya anggapan berlebihan jika ada yang berfikir bahwa
Nabi Dawud melakukan tindakan seburuk itu.
-
Ke tujuh, awal ayat dua puluh, Allah menegaskan
keistimewaan Nabi Dawud dengan firman-Nya; “wa syadadna mulkahu…” –dan
kami kokohkan kerajaannya-. Tentu Allah tidak akan mengokohkan kerajaan Dawud
untuk menopang kemungkaran dan kemaksiatan, karena Dawud adalah Nabi sekaligus
Rasul-Nya. Melainkan Allah mengokohkan kerajaan Dawud dalam rangka memback-up
Nabi Dawud untuk menuntaskan misi risalah beliau dan demi kebahagiaan akhirah
kelak. Jika Nabi Dawud memang type Raja yang angkara murka dan tidak bisa
mengendalikan amarah serta birahinya, apa mungkin Allah membiarkan kerajaan
Nabi Dawud tegak berdiri dengan kokoh atas pertolongan Allah? Bagi yang aktif
mengkaji sejarah kerajaan bangsa-bangsa dhalim, pasti mendapati cerita akhir
dari Raja-Raja yang angkara adalah ketumbangan dan kebinasaan. Mengapa mereka
tidak membandingkannya dengan kerajaan Nabi Dawud?.
-
Ke delapan, keistimewaan berikutnya tercantum
pada akhir ayat ke dua puluh, “wa aatainahul hikmata wa fashlal khithaab”
–dan kami beri ia(Dawud) hikmah dan pilihan kata yang tepat saat mengutarakan
isi hati- menurut Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya, maksud hikmah
adalah segala hal yang mencakup ilmu serta pengamalannya. Sedangkan Fashlul
khithab adalah, kemampuan untuk mengungkapkan fikiran dengan menggunakan
pilihan kata yang tepat[8].
Sekarang mari kita uji nalar kita sendiri-sendiri, apakah orang yang diberi
anugerah ilmu dan amal seperti Dawud ‘alaihis salam itu tega melakukan
tindakan serendah yang dituduhkan kepada beliau? Bagi mereka yang berakal,
pasti akan berfikir ulang untuk menyampaikan kisah yang tidak valid seperti
itu. Karena seandainya tuduhan itu disematkan pada seseorang yang biasa-biasa
saja, pasti dia akan mati-matian membela dirinya. Apalagi orang se-kaliber
Dawud? Bagaimana mungkin Allah memberikan hikmah yang bermuatan ilmu sekaligus
amal jika memang beliau membunuh Uria secara licik dan menyerobot Batsyeba
dengan cara banci seperti yang dituduhkan?.
Delapan keistimewaan Nabi Dawud tersebut
disampaikan Allah pada ayat 17-20, empat ayat sebelum menginjak ayat yang
diasumsikan bahwa Nabi Dawud menyesali dosa besar yang telah beliau lakukan
terhadap Uria dan Batsyeba pada ayat 21-24. Adapun jika kita amatikeistimewaa
Nabi Dawud yang ke Sembilan dan sepuluh secara seksama, dua ayat (QS. Shad: 25
dan 26) setelah ayat-ayat tentang kejadian dua orang pelapor yang mengakibatkan
Nabi Dawud menyesali kesalahan beliau, justru kita akan semakin yakin bahwa isu
antara Nabi Dawud, Uria dan Batsyeba hanyalah kekonyolan penafsiran yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
-
Ke Sembilan, ayat ke dua puluh lima, Firman Allah
“fa ghafarnaa lahu dzalika, wa inna lahu ‘indanaa lazulfaa wa husna ma_aab”
mari kita perhatikan, -kemudian kami mengampuninya(Dawud), dan sesungguhnya
ia(Dawud) mempunyai kedekatan erat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik-
seandainya memang benar Dawud telah bertindak kriminal seperti yang dituduhkan,
merebut istri orang hanya untuk menuruti nafsu birahinya sendiri, apa mungkin
Allah memujinya dengan kata-kata indah seperti ayat tersebut? Tentu mustahil
itu terjadi, dan pasti Dawud tidak melakukannya sama sekali.
-
Ke sepuluh, ayat dua puluh enam. Allah berfirman;
“yaa dawudu innaa ja’alnaaka khaliifatan fil ardli fahkum bainan naasi bil
‘adli…” –wahai Dawud, sesungguhnya kami jadikan engkau khalifah(pemimpin)
di bumi, maka berilah putusan hukum kepada manusia secara adil…-, ayat
pamungkas ini bisa menjadi titik final penepis tuduhan kepada Nabi Dawud,
sekaligus kesaksian Al Qur’an itu sendiri bahwa pengkisahan Nabi Dawud telah
bertindak dosa besar adalah dusta yang tidak bisa ditolerir. Hal ini bisa
ditinjau dari beberapa alasan:
a. Seandainya Dawud
melakukan tindakan a-moral seperti yang dituduhkan, maka bagaimana mungkin
Allah menyebutnya sebagai khalifah-Nya di bumi? Sementara Allah sedang
menceritakan kejadian itu kepada Muhammad. Ibarat seorang Raja, ketika
membicarakan sebagian hamba-Nya yang pendosa kepada Hamba-Nya yang lain, tidak
mungkin Raja tersebut menceritakannya dengan sebutan-sebutan yang berkesan
memuji dan memuliakannya. Pada ayat 26 ini, setelah menceritakan dosa besar
yang telah dia lakukan –kalau memang benar demikian-, pada ayat 21-24, Allah
malah menyatakan telah mengangkat Nabi Dawud menjadi seorang Raja yang dipuji-puji
sedemikian rupa. Apa ini bukan merupakan pertanda bahwa Nabi Dawud tidaklah
seorang pendosa seperti yang dituduhkan?
b. Sebagaimana kaedah
yang populer dalam teori ushul fikih, bahwa “dzikrul hukmi ‘aqibal washfi
yadullu ‘ala kauni dzalikal hukmi mu’allalan bi dzalikal washfi”.
–menyebutkan hukum sebuah perkara setelah menyebutkan sifatnya, menunjukkan
bahwa hukum tersebut disebabkan oleh sifat yang disebut sebelumnya. Coba kita
perhatikan pada ayat ke 26, kalau memang lima ayat sebelumnya menunjukkan bahwa
Nabi Dawud adalah seorang pendosa, semestinya Allah mengolok-olok Nabi Dawud
pada ayat berikutnya. Ternyata tidak, justru Allah malah mengangkatnya menjadi
seorang Raja, ini menunjukkan bahwa Nabi Dawud bersih dari dosa yang dituduhkan
kepada beliau.
c. Jika ayat-ayat
pengkisah Nabi Dawud ini diawali dengan penyebutan sifat-sifat yang
mengistimewakan beliau, dan diakhiri dengan pengangkatan beliau menjadi seorang
Raja, sementara di tengah-tengah memang benar beliau adalah pendosa seperti
yang dituduhkan, bisa kita katakana
bahwa: -Dialah Nabi Dawud yang mulia dan terpuji, seorang Nabi yang memiliki
sifat-sifat spesial dan luhur di sisi Allah, yang juga seorang pembunuh dan
pelaku zina yang mendapat ampunan dan telah diangkat menjadi seorang Raja-. Akal
sehat model bagaimanakah yang tidak tercengang mendengar pemberitaan semacam
ini? siapapun yang memiliki nalar yang utuh, pasti akan segera
mengklarifikasinya dan secepatnya menepis penceritaan sporadis seperti ini.
d. Menurut versi
mereka yang menyatakan ayat ini turun untuk mengungkap dosa Nabi Dawud, pada
awalnya beliau berharap agar mendapatkan kemuliaan sebagaimana moyang beliau
yang telah lulus ujian kesabaran, seperti Ibrahim sabar akan api yang mengancam
kematian, Isma’il yang sabar untuk rela disembelih bapaknya sendiri, Ya’qub
yang sabar menanggung kepedihan karena berpisah dengan Yusuf hingga buta
matanya. Setelah beliau tahu bahwa suatu saat akan tiba masa beliau diuji untuk
mendapatkan kemuliaan tersebut, demi mengangkat kemuliaan beliau di sisi Allah,
bagaimana mungkin justru Nabi Dawud terjerumus dalam lingkaran dosa besar
sebagai pembunuh dan pezina? Ini adalah pengkisahan yang semrawut,
karena mengalami kontradiksi antara kisah awal dan kisah akhirnya.
B. Analisa ayat
21-25
Ketika kita amati empat ayat yang
menjadi titik pembahasan dosa Nabi Dawud ini, tidak ada satu pun indikasi yang
membawa kesan bahwa Nabi Dawud telah bertindak kriminal, merebut Batsyeba
dengan cara membunuh suaminya yang juga perwiranya sendiri bernama Uria.Justru
sepuluh ayat yang mengkisahkan sepenggal riwayat perjalanan hidup Nabi Dawud
ini, secara keseluruhan membawa kesan keagungan sang Nabi Kstaria, Dawud ‘alaihis
salam.
Menurut penulis tafsir Mafatihul
Ghaib, pelacakan kasus yang paling mendekati kebenaran dalam menafsirkan
ayat-ayat ini adalah ketika dua orang bersengketa itu mendatangi Nabi Dawud,
waktu itu adalah masa perang, setiap hari beliau tidak pernah luput dari
ancaman pembunuhan yang direncanakan pihak musuh. Pada hari itu juga adalah
jadwal Nabi Dawud berkonsentrasi dengan aktivitas ritual, bukan melayani umat,
kemudian tiba-tiba kedua orang tersebut melompati pagar istana seperti penyusup
untuk menemui Nabi Dawud setelah dihalang-halangi para penjaga. Ketika mereka
menjumpai Nabi Dawud yang sedang terkejut berlapiskan kepanikan, khawatir
mereka hendak menyerang beliau, mereka mengatakan “la takhaf, khashmaani
baghaa ba’dluna ‘ala ba’dlin….”-jangan takut, kami adalah dua orang yang
bersengketa, salah satu dari kami telah mendhalimi yang lain… dst-[9].
Selain itu, jika kita teliti setiap
kata dari ayat-ayat tersebut tidak ada yang membawa kesan bahwa Nabi Dawud
telah berdosa besar dengan melakukan tindakan maksiat yang fatal seperti yang
dituduhkan, kalaupun ada indikasi bahwa Nabi Dawud telah bersalah, itu hanya
bisa kita dapati pada empat letak. Pertama, “wa dhanna dawudu annamaa
fatannaahu” –dan Dawud tahu bahwa Kami hanya mengujinya-.Ke dua, “fastaghfara
rabbahu”-maka Dawud memohon ampunan kepada Tuhannya-. Ke tiga, “wa anaab”
–dan dia(Dawud) kembali kepada Rabb-nya (bertaubat)-. Ke empat, “faghafarnaa
lahu dzalika”-maka Kami ampuni kesalahannya-.
Meski demikian, bukan berarti bisa
dijadikan bukti bahwa Nabi Dawud telah membunuh Uria demi dapat memperistri
Batsyeba. Hal ini teruji dengan beberapa alasan:
1. Ketika mereka
masuk istana seperti penyusup, kepanikan dan ketakutan Nabi Dawud bisa membuat
beliau murka dan menjatuhkan hukuman kepada kedua orang tersebut, sebagaimana
umumnya Raja-Raja yang lain. Tapi begitu beliau menyadari bahwa ini adalah
sebuah ujian, maka segeralah reda kemarahan beliau dan akhirnya berkenan
menerima aduan mereka mengenai masalah mereka. Dan lalu beliau memohon ampunan
kepada Allah, karena hampir saja melupakan jatidiri beliau sebagai Utusan Allah
yang pasti diuji kesabarannya, hal ini sangat bisa dimaklumi bagi karakter
seorang Raja pada saat ia sedang terancam bahaya serangan dari musuh.
2. Ketika mereka
masuk istana dengan cara yang tidak layak, membuat Nabi Dawud terperanjat dan bersu-udh
dhann bahwa mereka hendak membunuh beliau. Kemudian Nabi Dawud tahu bahwa
itu tidak lain adalah cobaan dari Allah “wa dhanna dawudu annamaa fatannaahu”,
dan lalu menyesali atas prasangka buruk yang tidak terbukti dalam kenyataan, “fastaghfara
Rabbahu wa kharra raaki’an wa anaab”.
3. Bisa jadi cobaan
yang dimaksud pada ayat 24 tersebut adalah kedatangan dua orang yang
bersengketa itu sendiri, mereka datang di hari yang tidak tepat dan dengan cara
yang tidak sopan. Maka Nabi Dawud menyesali perbuatan mereka, karena telah
mengganggu konsentrasi ibadah beliau, begitu Nabi Dawud tahu bahwa itu cobaan
bagi beliau, lalu beliau tersungkur bersujud memohon ampunan bagi diri beliau
sekaligus memintakan ampunan bagi kedua orang tersebut.
4. Anggap saja Kita
bisa menerima cara pandang mereka yang mengatakan bahwa ayat itu tidak mungkin
tersampaikan kecuali menunjukkan bahwa ada unsur penyesalan yang sangat besar
dari pihak Dawud, tidak mungkin itu terjadi jika tidak dipicu sebuah tindakan
fatal yang mengakibatkan Dawud benar-benar menyesal.
Jika
demikian, kami bisa setuju akan hal itu, tapi kami tidak bisa sepakat jika
penyesalan Nabi Dawud dipicu sebuah dosa karena merebut Batsyeba dari tangan
Uria dengan cara membunuhnya secara licik. Karena tidak ada pemberitaan yang
valid dari sumber yang sah dan wajib diikuti, namun dalam redaksi teks ayat
23-awal 24 telah jelas secara tersurat, bahwa “inna hadza akhi lahu tis’un
wa tis’uuna na’jatan wa liya na’jatun wahidah, fa qaala akfilniihaa wa ‘azzani
fil khithaab. Qaala laqad dhalamaka bi suali na’jatika ilaa ni’aajih…”.
-Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing, dan aku mempunyai seekor
saja. Dia berkata; serahkan kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku
dalam perdebatan”. Dawud berkata; “sesungguhnya dia telah berbuat dhalim
kepadamu dengan meminta kambingmu agar bersama kambing-kambingnya-.
Dari
sini bisa kita nilai bersama, bahwa Nabi
Dawud secara serta merta menghukumi suatu kasus antara kedua orang tersebut
cukup mendengarkan pembicaraan pelapor, tanpa meminta keterangan pihak yang
dilaporkan. Jadi penyesalan Nabi Dawud dipicu dari situ, hal ini juga dikuatkan
oleh ayat setelahnya yang mewejang Nabi Dawud agar memberikan keputusan hukum
kepada umat beliau secara adil.Wallahu a’lam bish shawab
·
Penutup
Demikianlah hasil galau
selama tiga hari yang bisa menelurkan kenangan seadanya, mudah-mudahan
bermanfaat bagi kita semua yang mau menekuni khazanah keilmuan Islam secara
obyektif, dan tidak terkungkung oleh kepentingan-kepentingan yang mengebiri
kebebasan kita berfikir luas.Sehingga kita bisa leluasa menentukan pemahaman
yang sesuai dengan kebenaran ilmiah.
Besar kemungkinan, ada
beberapa orang bertanya-tanya, memang tidak selayaknya kita beranggapan bahwa
Nabi Dawud melakukan kejahatan yang tidak bisa ditolerir oleh ajaran agama
apapun.tapi pada kenyataannya, banyak sekali aktivis-aktivis tafsir maupun
hadis mengangkat persoalan ini, dan bahkan ada sebagian ulama yang dengan
terang-terangan dalam pidatonya menyampaikan kisah Nabi Dawud dengan
penceritaan yang tidak elok disandarkan kepada beliu. Bagaimanakah solusinya
agar kita bisa mengambil sikap yang bijaksana?
Menurut hemat penulis,
ketika terjadi kontroversi antara dalil-dalil qath’i dan dalil-dalil yang
diriwayatkan perorangan, maka dalil-dalil qath’i diutamakan pengamalannya.Ketika
kita bandingkan, antara yang tercantum dalam sepuluh ayat di atas dengan
keterangan penceritaan yang sampai kepada kita, manakah yang lebih utama untuk
kita yakini? Tentu apa yang disampaikan dalam al Qur’anlah yang paling patut
kita yakini. Selain itu, kaedah fikih yang tidak asing lagi bagi para santri,
bisa dijadikan rujukan, bahwa “al ashlu bara_atudz dzimmah”-hukum asal,
setiap orang itu tidak memiliki tanggungan apapun-, tanpa ada sebuah bukti
konkrit, bahwa penceritaan tentang kasus Nabi Dawud dengan Batsyeba bisa
dipertanggungjawabkan, maka sampai kapanpun Nabi Dawud tetap bersih namanya
dari pencemaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ada juga sebuah kaedah
yang cukup populer di kalangan kita, bahwa “idza ta’aradla dalilut tahrim
wat tahlil, fadalilut tahrim aula bil akhdzi” –ketika terjadi kontradiksi
antara dalil yang mengharamkan dan dalil yang menghalalkan, maka memakai dalil
yang mengharamkan itu lebih utama-.Dawud adalah seorang Nabi sekaligus Rasul,
tidak mungkin tindakan kriminal yang membuat beliau melakukan dosa besar, ini
adalah dalil tahrim.Di sisi lain, Dawud adalah seorang manusia yang
memiliki bawaan salah dan lupa, bukan tidak mungkin kalau Nabi Dawud juga bisa
terjerumus dalam dosa, meski Allah mengampuni beliau di kemudian hari, ini
adalah dalil tahlil. Dua persepsi yang kontroversi seperti ini ketika
berbenturan, maka yang mengatakan tidak mungkin, didahulukan.Sekian, walhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin…
[1]
. penceritaan kisah ini bisa kit abaca di kitab perjanjian baru (2 Samuel 12,
1-25)
[2] . At-Tahdzib
Ibnu Hajar no. 498, Mizanul I’tidal, 4:418, At-Tarikul Kabir,
Al-Bukhari, 8:320 dan lainnya
[3].Ibnu
Hazm, al Fishal, juz 4 hal. 41
[4] .
al Qurthubi, Tafsir al Qurthubi, juz 15 hal. 176
[5] .
Al Khazin, Lubabut Ta’wil, juz 6 hal. 49
[6] .
Tafsir Ibnu Katsir, juz 12 hal. 82
[7] .
Fakhrud din al Razi, Mafatihul Ghaib juz. 26 hal. 190
[8] .
fakhrud din al Razi, Mafatihul Gahib juz . 26 hal. 190
[9] .
Fakhrud Din al Razi, Mafatihul Ghaib juz 26 hal. 193